Depresi Atau Burn out? Ternyata Berbeda, Ini Penjelasannya

image

oleh dr. Emilya Kusnaidi, SpKJ, dibaca: 191 kali

Belakangan, istilah burn-out menjadi populer di kalangan masyarakat. Istilah tersebut diciptakan pada 1970-an oleh psikolog Amerika Herbert Freudenberger, dan digunakan untuk menggambarkan konsekuensi dari stres berat akibat ekspektasi pekerjaan yang tinggi dalam profesi kesehatan seperti dokter dan perawat. Saat ini, istilah itu tidak hanya digunakan untuk profesi kesehatan saja. Kondisi burn-out dapat memengaruhi siapa saja seperti selebriti, hingga karyawan dan ibu rumah tangga yang terlalu banyak bekerja. Burn-out adalah reaksi normal terhadap stres, dan belum tentu merupakan tanda penyakit. Jadi, apakah burn-out menggambarkan serangkaian gejala yang lebih dari sekadar reaksi "normal" terhadap stres? Dan apa bedanya dengan masalah kesehatan mental lainnya?

Berikut adalah tiga area utama gejala yang dianggap sebagai tanda burn-out:
•    Kelelahan : orang yang terkena dampak burn-out mungkin merasa kelelahan yang berbeda dari basanya, merasa terkuras secara emosional, tidak mampu mengatasi kondisi suasana perasaannya, hingga merasa tak berenergi. Gejala fisik juga mungkin muncul seperti rasa nyeri, atau problem pencernaan.
•    Merasa terasing dari lingkungan kerja: orang yang mengalami burn-out dapat merasa stress dan frustasi terkait pekerjaan mereka. Mungkin mereka merasa sinis terhadap tumpukan tugas dan rekan kerja, kemudian memisahkan diri secara emosional dengan pekerjaan dan lingkungannya.
•    Berkurangnya performa di tempat kerja : kesulitan konsentrasi dan hilangnya kreativitas mungkin menjadi salah satu gejala yang juga dialami, sehingga akhirnya berdampak pada hasil kerja sehari-hari.

Untuk membedakan antara burn-out dengan depresi memang tak mudah. Sebab gejala keduanya sangat mirip, yaitu kelelahan dan tidak berenergi, merasa stress atau frustasi, serta penurunan kualitas kerja. Karena itu, beberapa orang mungkin didiagnosis mengalami burn-out meskipun sebenarnya mereka mengalami depresi.

 Jadi, penting untuk tidak mendiagnosis diri sendiri dengan burn-out atau depresi terlalu cepat. Dengan melakukan diagnosis sendiri, mungkin dapat menyebabkan menyebabkan perlakuan yang salah kepada kolega kerja. Misalnya, menasihati seseorang dengan depresi untuk mengambil liburan panjang atau cuti kerja. Anda yang mengalami burn-out mungkin bisa mengalami perbaikan jika mengikuti nasihat itu. Namun, jika orang-orang dengan depresi melakukannya, nasihat tersebut mungkin akan memperburuk keadaan karena jenis bantuan yang mereka butuhkan sangat berbeda, seperti perawatan psikologis atau pengobatan.

Beberapa karakteristik burn-out sangat spesifik. Misalnya, dalam burn-out sebagian besar masalah terkait dengan pekerjaan. Dalam depresi, pikiran dan perasaan negatif tidak hanya tentang pekerjaan, tetapi tentang semua bidang kehidupan. Gejala khas depresi lainnya termasuk:
•    tingkat percaya diri yang rendah,
•    keputusasaan dan
•    kecenderungan bunuh diri (berpikir untuk bunuh diri).

Jadi orang dengan burnout tidak selalu mengalami depresi. Tetapi kelelahan dapat meningkatkan risiko seseorang terkena depresi. Maka dari itu, bila Anda mulai mengalami gejala sindrom burn-out di tempat kerja, sebaiknya berhenti sejenak untuk istirahat. Lakukan kegiatan positif seperti mengerjakan hobi, berolahraga, atau meluangkan waktu untuk diri sendiri. Bila kondisi Anda tidak membaik, sangat penting untuk menilai diri sendiri terkait gangguan yang dirasakan dan memastikannya ke ahli medis sekaligus mendapatkan perawatan yang tepat. Jangan pernah mendiagnosis diri sendiri karena dapat menimbulkan bahaya, terlebih dalam waktu yang lama.

Sumber:
1.    Deutsche Gesellschaft für Psychiatrie und Psychotherapie, Psychosomatik und Nervenheilkunde (DGPPN). S3-Leitlinie und Nationale Versorgungsleitlinie (NVL): Unipolare Depression. AWMF-Registernr.: nvl-005. March 2017.
2.    Korczak D, Kister C, Huber B. Differentialdiagnostik des Burnout-Syndroms. 2010. (Schriftenreihe Health Technology Assessments (HTA); Volume 105).


Kembali

Artikel Lainnya

Sejira

Skrining Kesehatan Mental: Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati!

oleh dr. Emilya Kusnaidi, SpKJ, dibaca: 221 kali

Masih banyak orang menganggap skrining atau pemeriksaan awal kesehatan mental hanya perlu dilakukan pada orang yang s... ..

Detail
image
Sejira

Kapan Perlu Berkonsultasi Kesehatan Jiwa?

oleh dr. Emilya Kusnaidi, SpKJ, dibaca: 142 kali

 

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik sehingga harus mendapatkan penanganan yang tepat. K... ..

Detail
image
Sejira

Stress, Apakah Selalu Negatif?

oleh dr. Emilya Kusnaidi, SpKJ, dibaca: 205 kali

Stress adalah proses yang dirasakan dan direspon oleh manusia mengenai suatu kejadian. Semua orang sudah pasti pernah... ..

Detail
image
SEJIRA
SEJIRA