Hustle-Culture: Glorifikasi Budaya Workaholic yang Berbahaya

image

oleh dr. Emilya Kusnaidi, SpKJ, dibaca: 214 kali

Hustle-culture telah menjadi fenomena yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan milenial yang memiliki semangat dan ambisi kerja yang begitu tinggi sehingga timbul pertanyaan tentang motivasi mereka. Hustle culture atau dikenal dengan workaholism pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oates dalam bukunya yang berjudul ”Confessions of a workaholic : the facts about work addiction” pada tahun 1971. Hustle culture merupakan sebuah gaya hidup baru di kalangan milenial yang menganggap dirinya akan sukses jika terus melakukan pekerjaan dan memiliki sedikit waktu untuk beristirahat.

 

Beberapa penelitan yang telah ada menyebutkan bahwa budaya ini dapat berpengaruh negatif bagi berbagai aspek kehidupan pelakunya, seperti kesehatan, kebahagiaan, hingga hubungan sosial dengan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Molino et al. (2016) kepada 617 pekerja di Italia yang menemukan bahwa budaya hustle culture berkorelasi negatif dengan kualitas kehidupan keluarga, kesehatan, dan pekerjaan. Gaya hidup hustle culture ini berdampak buruk terhadap kesehatan seseorang, baik fisik, maupun mental. Seseorang mungkin menunjukkan kelelahan fisik dan emosional, menjadi sinis, mudah marah, bekerja dengan tidak efektif, dan menurunnya pencapaian kerja. Gejala umum termasuk perasaan apatis dan putus asa, menjadi pesimis, hilangnya nafsu makan juga kerap muncul. Jadi, dengan mengingat hal ini, berikut adalah beberapa tips untuk berjaga-jaga agar tidak overworking:

 

1. Tetapkan batasan yang tegas

Baik Anda bekerja di kantor maupun di rumah, tetapkan batasan yang tegas antara mana yang merupakan area kerja Anda dan mana yang bukan. Terutama jika Anda WFH, alokasikan ruangan atau space tertentu untuk bekerja, agar sisa dari rumah Anda tetap terasa seperti rumah.

 

2. Menyusun prioritas dan fokuslah hanya pada tugas yang benar-benar penting

Jangan buang waktu Anda mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan dua minggu lagi. Bukannya membiarkan tugas menumpuk, tapi justru memberikan struktur pada waktu kerja Anda. Dengan membuat daftar priritas, Anda mengalokasikan waktu untuk diri Anda sendiri juga.

 

3. Berani katakan “Tidak”

Jika Anda dihadapkan dengan tugas yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan, entah itu sesuatu yang bukan bagian dari pekerjaan Anda, atau tugas sampingan yang dibebankan pada Anda, beranikan diri untuk mengatakan tidak. Anda akan menyelamatkan diri Anda sendiri dengan menyingkirkan tugas-tugas yang tidak perlu Anda lakukan.

 

4. Minimalkan gangguan dalam pekerjaan

Gangguan bisa dalam bentuk apapun. Sosial media yang terus menelurkan notifikasi, grup- grup Whatsapp yang tidak penting, bahkan peliharaan tetangga yang sering berisik. Gunakan headphones dan dengarkan musik yang membangkitkan semangat kerja Anda, dan matikan notifikasi dari aplikasi-aplikasi di luar pekerjaan.

 

5. Jangan lupa ‘Me Time’

Sesekali, tak ada salahnya untuk mengambil hari libur dan memanfaatkannya untuk sekadar rileks di rumah memasak makanan dan streaming film-film favorit Anda. Waktu refreshing sangat penting untuk mengurangi kelelahan dan kepenatan kerja.

 

Bekerja memang penting, tapi waspadalah akan bahaya overworking. Bekerja berlebihan akan memberikan Anda stres yang memberatkan dan bahkan penyakit-penyakit yang tidak Anda inginkan. Oleh karena itu, atur area dan waktu kerja Anda dan jangan lupa alokasikan waktu untuk istirahat dan relaksasi!

 

Sumber:
1. Molino, Monica, Arnold B. Bakker, and Chiara Ghislieri. 2016. “The Role of Workaholism in the Job Demands-Resources Model.” Anxiety, Stress, & Coping 29 (4): 400–414. https://doi.org/10.1080/10615806.2015.1070833.
2. Oates, Wayne E. 1971. Confessions of a Workaholic: The Facts about Work Addiction. New York: World Pub. Co. 


Kembali

Artikel Lainnya

Sejira

Leaders who care about mental health, practice this strategy

oleh R. Hardyanta, dibaca: 198 kali

In the new era of the workforce, a good leader today is a leader who understands how important mental well-being is f... ..

Detail
image
Sejira

Mengenal Seasonal Affective Disorder: Perubahan Mood yang dipengaruhi Cuaca

oleh dr. Emilya Kusnaidi, SpKJ, dibaca: 203 kali

Seasonal Affective Disorder (SAD) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan episodik depr... ..

Detail
image
Sejira

Gejala Apa Saja Yang Bisa Dikenali Dengan Kuesioner SCL-90?

oleh Roman, dibaca: 349 kali

Kuesioner SCL-90 atau The Symptom Check List 90 sudah banyak dikenal dan banyak digunakan untuk mengidentifikasi adan... ..

Detail
image
SEJIRA
SEJIRA